Pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia, masyarakat di Kabupaten Nagekeo melakukan aksi damai sebagai bentuk kepedulian terhadap kondisi lingkungan yang semakin memburuk. Aksi ini merupakan panggilan hati dan sikap tegas komunitas setempat terhadap ancaman eksploitasi sumber daya alam, terutama yang berkaitan dengan proyek panas bumi (geothermal).
Aksi diawali dari halaman Sekretariat Bersama dengan long march menuju Kantor Bupati dan DPRD setempat, sebelum kembali ke titik awal. Rute ini menjadi simbol pengembalian kepada “akar” dan sebagai pengingat bahwa tanah dan air adalah milik rakyat.
Menjaga Keberlanjutan Lingkungan
Dengan tema lokal “Jaga Tanah, Rawat Air, Lindungi Anak Cucu” serta tema global “Our Land. Our Future. We are #GenerationRestoration”, aksi ini menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan bumi demi generasi mendatang. Dalam kegiatan tersebut, masyarakat menegaskan beberapa poin penting.
Pertama, mereka menolak semua proyek geothermal yang dihimpun di wilayah Nagekeo. Banyak di antara mereka yang berpendapat bahwa proyek-proyek ini dapat merusak ekosistem dan warisan budaya yang telah ada sejak zaman dahulu. Alasan tersebut menjadi salah satu ditekankan dalam aksi ini.
Seruan untuk Tindakan Konkret
Selanjutnya, mereka mendesak pemerintah daerah, termasuk Bupati dan DPRD, untuk secara resmi menyatakan penolakan terhadap proyek-proyek tersebut dan mengirimkan surat kepada pemerintah pusat serta Kementerian ESDM untuk mencabut keputusan penting yang menetapkan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Hal ini dianggap perlu untuk melindungi ruang hidup masyarakat dan ekosistem yang ada.
Di samping itu, terdapat keinginan untuk mendapatkan komitmen politik dan moral dari pemerintah dengan penandatanganan Surat Kesepakatan Bersama yang melibatkan semua pihak. Langkah ini diharapkan dapat menjadi perwujudan dari kesatuan antara pemerintah, lembaga legislatif, dan masyarakat dalam menjaga lingkungan yang berkelanjutan.
Kepala Koordinator Aksi, RP. Marselinus Kabut, OFM, menyatakan bahwa aksi ini merupakan langkah awal dari suatu gerakan panjang yang menyadarkan masyarakat tentang pentingnya lingkungan. “Tanah harus dipandang bukan sebagai komoditas, begitu juga dengan air,” ujarnya. Dia mengingatkan bahwa generasi mendatang tidak seharusnya menjadi korban dari kepentingan investasi semata.
Masyarakat juga menuntut kepemimpinan yang lebih transparan dan tegas, berharap pemimpin daerah tidak bersikap netral dalam isu ini. Mereka meminta kejelasan apakah pemimpin berpihak kepada masyarakat atau kepada investor. Sikap ini mencerminkan harapan mereka akan masa depan yang lebih baik terkait pengelolaan sumber daya alam.
Sejalan dengan itu, Vikaris Episkopal mencurahkan dukungan penuh dari gereja untuk upaya warga dalam menjaga lingkungan, yang merupakan warisan dari para leluhur. Dengan niat saling mendukung, masyarakat bertekad untuk terus melakukan pendidikan ekologi berbasis komunitas serta membangun gerakan anti-eksploitasi energi kotor.
Forum Peduli Lingkungan Hidup di Nagekeo berkomitmen untuk merajut aliansi lintas iman dan budaya demi menyelamatkan lingkungan. Aksi yang penuh semangat ini juga merupakan seruan kepada seluruh masyarakat Nagekeo untuk bersatu dalam menjaga bumi. “Kami mengajak seluruh rakyat untuk menjaga tanah dan air kita!” demikian seru mereka, menekankan pentingnya solidaritas dalam menghadapi masalah lingkungan.