www.mediapos.id – Kebebasan pers di Indonesia mengalami tantangan serius baru-baru ini. Enam jurnalis yang tergabung dalam DPD Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) Provinsi Riau menjadi korban penganiayaan terencana saat meliput dugaan penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di suatu SPBU di Pekanbaru.
Insiden ini terjadi ketika para wartawan berusaha merekam aktivitas mencurigakan di lokasi tersebut. Aksi kekerasan ini menegaskan risiko tinggi yang harus dihadapi oleh jurnalis dalam menjalankan tugas mereka di lapangan.
Situasi yang dialami para wartawan tidak hanya menjadi catatan hitam bagi kebebasan pers, tetapi juga menunjukkan betapa rentannya situasi bagi media di tanah air. Pada saat yang sama, tindakan ini merupakan sebuah seruan bagi semua pihak untuk memperjuangkan hak-hak jurnalis.
Peristiwa Penganiayaan Wartawan yang Mencolok di Riau
Para jurnalis yang menjadi korban, termasuk Edy Hasibuan dan Hotlan Tampubolon, sedang meliput aktivitas yang diduga terkait penyaluran BBM bersubsidi secara ilegal. Mereka menghadapi perlawanan dari pihak yang merasa terancam oleh liputan tersebut.
Di SPBU itu, petugas dan staf yang ada mencoba menghalangi para wartawan untuk menjalankan tugasnya. Tak lama berselang, sekitar 40 orang yang dianggap sebagai sopir dan kaki tangan langsung mengepung dan menyerang mereka.
Perlakuan kasar terhadap para jurnalis ini menjadi sebuah isyarat betapa besarnya tantangan yang dihadapi oleh media, terutama ketika meliput praktik-praktik ilegal. Akibat penganiayaan tersebut, para wartawan mengalami luka cukup serius yang berpotensi mengganggu aktivitas mereka sehari-hari.
Pelanggaran Hukum Terhadap Jurnalis dan Tanggapan Masyarakat
Ketua DPD AKPERSI Riau, Irfan Siregar, menegaskan bahwa tindakan kekerasan ini melanggar UU Pers No. 40 Tahun 1999. Pelanggaran ini, menurutnya, dapat dikenakan pidana penjara dan denda yang cukup berat.
Irfan menekankan bahwa undang-undang melindungi jurnalis yang menjalankan tugasnya di lapangan. Dia menegaskan bahwa insiden semacam ini tidak boleh terulang dan menuntut keadilan bagi para korban.
Di tingkat lebih luas, Ketua Umum DPP AKPERSI, Rino Triyono, berpendapat bahwa insiden tersebut bukan sekadar penganiayaan, melainkan juga serangan terhadap prinsip demokrasi. Media memiliki peran penting dalam mengawasi praktik-praktik korupsi dan penyalahan wewenang.
Dugaan Keterlibatan Aparat dan Perlunya Tindakan Segera
Hingga saat penulisan, belum ada pihak yang ditangkap terkait insiden tersebut. Banyak pihak merasa khawatir terhadap lambatnya respons polisi yang dinilai mencerminkan dugaan pembiaran terhadap kejahatan ini.
Ketua DPD AKPERSI Sumatera Utara, KH. R. Syahputra, juga mengingatkan pada publik bahwa pembiaran semacam ini menjadi preseden berbahaya bagi keamanan jurnalis di tanah air. Sementara itu, praktik ilegal di SPBU tersebut tampaknya tetap berlangsung meskipun telah terjadi insiden kekerasan.
Dengan tak adanya langkah hukum yang jelas, masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum yang semestinya melindungi warga dan jurnalis. Ketidakadilan ini tentu menciptakan rasa ketidaknyamanan di seluruh lapisan masyarakat.
Seruan untuk Kesadaran Publik dan Konsekuensi Hukum
AKPERSI mengekspresikan ultimatum keras terhadap pihak berwenang untuk segera menindaklanjuti kasus ini. Jika dalam waktu dekat tidak ada penegakan hukum yang konkret, mereka berencana untuk mengadakan kampanye nasional dengan isu #NoViralNoJustice.
Langkah ini diharapkan bisa menyadarkan masyarakat tentang pentingnya dukungan terhadap kebebasan pers dan penegakan hukum yang adil. Tindakan tersebut juga akan menunjukkan ketidakpuasan publik terhadap situasi yang mengenaskan ini.
Ketua DPD AKPERSI Sumatera Utara menegaskan bahwa keberhasilan penegakan hukum akan berpengaruh besar terhadap kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Tanpa tindakan serius, reputasi aparat penegak hukum akan terus dipertanyakan oleh masyarakat.