Reporter: Gusti Bebi Daga.
Mbay, Nusa Tenggara Timur – Masyarakat adat Rendu di Kabupaten Nagekeo secara resmi mengumumkan larangan adat (ritual Fani) yang meliputi seluruh aktivitas di tanah ulayat mereka, yang terpengaruh oleh pembangunan Waduk Lambo. Larangan tersebut akan terus berlaku sampai hak-hak masyarakat adat dipenuhi dengan baik.
Larangan ini diungkapkan oleh pendamping hukum masyarakat adat Rendu, Hans Gore, dalam pernyataannya pada Senin, 26 Mei 2025. Ia menjelaskan bahwa tindakan ini merupakan ungkapan ketidakpuasan terhadap Panitia Pengadaan Tanah (P2T) yang dianggap tidak berpihak dalam penyelesaian masalah hak-hak masyarakat ulayat.
Ritual Adat dan Pentingnya Pengakuan Hak
Menurut Hans, ritual Fani adalah larangan adat yang menyasar setiap bentuk aktivitas di tanah ulayat Rendu. Dampak dari pelanggaran ini bisa sangat serius, bahkan berujung pada sanksi adat yang berat. Ia menekankan bahwa ritual ini tidak akan dicabut hingga pemerintah memenuhi hak-hak masyarakat adat Rendu, termasuk pengakuan atas tanah mereka dan kompensasi yang sepadan.
Pentingnya ritual ini menggarisbawahi keresahan dan ketegangan yang dirasakan oleh masyarakat adat. Hans mengungkapkan perlunya penyelesaian yang menyeluruh oleh pemerintah sebagai wujud penghormatan terhadap keberadaan suku Rendu serta pranata adatnya. Dalam situasi ini, dukungan terhadap kesadaran identitas budaya sangatlah krusial.
Penyelesaian Masalah dan Peran Aparatur Desa
Lebih jauh, Hans menggarisbawahi pentingnya peran aparatur desa, khususnya di tiga desa yang terdampak, yaitu Ulupulu, Rendu Butowe, dan Labolewa. Para kepala desa dianggap sebagai aktor utama dalam konflik yang muncul terkait proses pengadaan tanah untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) Waduk Lambo. Dia juga menyatakan bahwa pendekatan yang digunakan tim P2T dianggap tidak bermartabat, dan mencoreng citra pemerintah.
Hans mendorong Bupati Nagekeo untuk mengambil tindakan tegas terhadap Kepala Desa Rendu Butowe dan aparatur desa lainnya yang terlibat. Ini penting untuk mencegah preseden buruk yang dapat mempengaruhi kepemimpinan desa di daerah lain. Dia berpendapat bahwa sumber konflik terletak pada tindakan kepala desa, dan pemerintah daerah perlu bertindak agar masalah ini tidak berlarut-larut.