Reporter: Anong Bebi Daga
Oleh: Dr. (C). Ir. Karolus Karni Lando, MBA
Jumat Agung tahun ini kembali menjadi saksi betapa kokohnya iman umat Katolik di Larantuka. Langit gelap dan hujan turun sejak pagi tak menyurutkan langkah umat untuk mengikuti seluruh rangkaian prosesi. Di sepanjang jalan, dari anak-anak kecil hingga lansia, semua tetap berlutut, berdoa, dan menangis dalam keheningan penuh harap.
Dalam tradisi yang kuat, keberanian dan komitmen umat menjadi pelajaran berharga. Bagaimana mungkin, dalam kondisi cuaca yang sangat tidak menguntungkan, mereka tetap memilih untuk hadir dan menunjukkan dedikasi kepada iman mereka? Ini adalah contoh nyata dari sebuah komunitas yang saling mendukung dan memperkuat satu sama lain, tidak peduli situasi yang dihadapi.
Keberanian dalam Iman di Tengah Cuaca Buruk
Selama hari tersebut, prosesi tetap berjalan khusyuk. Tuan Ma dan Tuan Ana, dua patung suci yang menjadi pusat devosi umat, tetap melanjutkan perjalanan mereka dari gereja hingga ke pemberhentian terakhir. Meski hujan terus mengguyur, umat tetap bertahan. Dalam suasana dingin dan lembab, mereka menunjukkan kekuatan iman yang luar biasa. Pengalaman seperti ini menciptakan momen-momen tak terlupakan dan membangun rasa kebersamaan di antara mereka.
“Kami tidak meminta hari cerah, kami hanya ingin tetap setia berjalan bersama Tuhan, bahkan di bawah hujan sekalipun,” ungkap seorang peserta prosesi dengan suara bergetar. Kisah-kisah seperti ini menjadi pengingat bahwa iman bukan hanya tentang masa-masa baik, tetapi juga tentang ketekunan dan kesetiaan dalam menghadapi kesulitan.
Makna Mendalam di Balik Ritual
Jumat Agung, atau Hari Bae seperti yang disebut masyarakat Larantuka, bukan sekadar tradisi. Hari ini adalah bentuk syukur yang mendalam. Ketika umat mengingat pengorbanan Yesus di kayu salib, mereka juga merasakan kasih yang dinyatakan Tuhan kepada umat-Nya. Ini adalah saat di mana umat diajak untuk merenungkan perjalanan iman mereka dan hadir di depan Tuhan dengan penuh pengharapan.
Umat tidak hanya merayakan iman secara liturgis, tetapi menghidupi iman itu dalam tindakan nyata sehari-hari. Dengan kata lain, mereka menegaskan bahwa ritual tanpa tindakan nyata adalah kosong. Mengejawantahkan kasih dalam setiap interaksi sehari-hari menjadi penting. Umat Larantuka, dengan semangat kebersamaan yang tinggi, membuktikan bahwa iman dapat hidup dan bersinar bahkan di tengah hujan deras sekalipun.
“Dan saya mengikuti prosesi hingga akhir, menyaksikan bagaimana anak-anak pun tidak mengeluh. Mereka tetap berlutut dalam dingin dan basah, membawa ujud-ujud mereka di hadapan Tuhan,” kata Bapa Uskup. Ungkapan ini memperkuat keyakinan bahwa generasi muda pun terlibat dalam menjaga tradisi ini. Mereka menjadi harapan di masa depan dan meneruskan tali iman yang telah ada.
Hari itu menjadi saksi akan betapa pentingnya mengedepankan cinta dan pengorbanan dalam hidup beriman. Momen-momen seperti ini sangat berharga karena menjadi tempat bagi setiap umat untuk mengevaluasi sejauh mana mereka telah menjalani panggilan hidup mereka. Iman yang kokoh tidak hanya terukur saat situasi baik, tetapi juga di saat-saat sulit.
Melalui perayaan ini, umat diajak untuk tidak hanya melihat ke belakang, tetapi juga merancang masa depan yang penuh harapan. Keberadaan Bunda Maria yang senantiasa mendampingi dalam prosesi memperkuat kehadiran Tuhan yang setia. Di saat kita berjalan, Dia selalu ada untuk membimbing dan mendoakan kita.
Dengan demikian, marilah kita menjadikan setiap hari sebagai kesempatan untuk saling mengasihi, mengampuni, dan merawat satu sama lain. Momen-momen kecil di dalam komunitas juga penting; membantu tetangga, berbagi dengan mereka yang membutuhkan, dan mendukung satu sama lain dalam kesulitan.
Setiap individu dipanggil untuk menghidupi iman mereka dengan cara sederhana namun mendalam. Seperti yang diingatkan oleh Rasul Paulus bahwa, “Iman tanpa perbuatan adalah mati”. Pesan ini tetap relevan di zaman modern, di mana tantangan untuk hidup sesuai dengan iman seringkali harus dijumpai.