oleh: Dr.dr. Pribakti B, SpOG(K) *)
Harus diakui pekerjaan dokter yang seharusnya sarat dengan pesan moral, kini telah banyak bergeser. Saat ini dokter tidak mungkin lagi bekerja tanpa teknologi. Dan Rumah Sakit (RS) yang umumnya berperan sebagai institusi industri, lebih sebagai penentu. Coba lihat RS-RS swasta baru yang kini bermunculan, mayoritas dimiliki oleh pengusaha.
Lantas, bagaimana kita akan memulai pembicaraan mengenai etik? Padahal berbicara tentang RS tidak dapat lepas dari dialog tentang dokter. Dalam konteks pekerjaan dokter, soal etik adalah hal yang tak terpisahkan.
Etik berasal dari kata benda: Ethos. Ini merujuk pada karakter suatu individu. Proses pengobatan adalah bagian dari ilmu kedokteran, tetapi pertanyaan mengenai mengapa seseorang harus diobati adalah isu etika kedokteran yang tidak dapat diabaikan.
Seharusnya, alasan utama mengapa Anda dilayani sebagai pasien adalah karena Anda adalah manusia. Tanpa embel-embel lain! Baik ras, bangsa, agama, atau status sosial, semua memiliki hak yang sama. Etika berhubungan dengan moralitas. Meskipun moral itu tidak bisa diraba, tetapi dapat dirasakan. Tindakan dan keputusan dokter dalam memberikan pelayanan kepada pasien menjadi refleksi dari moralitas tersebut, yang pada akhirnya menentukan nasib pasien dan biaya yang harus dikeluarkan.
Jarak pengetahuan antara pasien dan dokter sering kali membuat pasien merasa tidak berdaya. Dalam situasi seperti ini, kontrol internal etika dan moral menjadi sangat diperlukan untuk menjaga kepentingan pasien.
Inilah sebabnya, sejak lahirnya ilmu kedokteran, sumpah Hipocrates selalu dipegang teguh. Dan semua ajaran agama mendorong kita untuk senantiasa menjaga moralitas dalam profesi kedokteran. Apakah hanya etika moral yang menjadi penentu kualitas performa dokter? Tentu tidak! Lompatan teknologi kedokteran telah mengubah segalanya secara fundamental. Jelas diperlukan prasyarat lainnya untuk menjaga performa dokter. Dalam konteks medis, keselamatan pasien adalah yang utama. Ini berarti, kompetensi dalam menggunakan teknologi (baca: dokter) harus selalu terukur. Di sini, audit medik menjadi sangat penting!
Teknologi merupakan ujung tombak dalam persaingan bisnis. Ini merupakan bagian dari industri. Kompetisi teknologi di bidang kedokteran muncul bukan karena dorongan altruistik, tetapi dari hasrat untuk berkompetisi demi laba. Ciri khas dari bisnis adalah berorientasi pada keuntungan, yang artinya mencari untung. Bisnis tidak dijalankan semata untuk tujuan kemanusiaan, melainkan lebih pada kepentingan individu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika bisnis selalu didorong oleh kompetisi. Meskipun demikian, tidak ada yang salah dengan bisnis, tetapi ini tentunya mengubah wajah RS.
Situasi inilah yang menyebabkan terjadinya benturan nilai! Dokter, dengan sumpahnya yang mulia untuk mengutamakan kepentingan pasien, harus bekerja di RS yang mungkin memiliki semangat yang berbeda. Kondisi ini semakin rumit, karena saat ini dokter yang ingin bertahan harus mengikuti arus yang ditetapkan oleh korporasi. Pemimpin perusahaan menjadi dirijen dalam orkestra ini. Masalahnya, negara ini sepenuhnya mengikuti paham pasar bebas. Kita melihat bahwa arena kompetisi semakin tak terkendali dan etika kian terabaikan. Itulah gejala yang kita amati saat ini.
Namun, masyarakat tetap patut bersyukur atas kemajuan teknologi. Berbagai masalah kesehatan kini bisa teratasi, harapan hidup umat manusia semakin meningkat. Sayangnya, semua itu tidak sejalan dengan pemerataan. Biaya kesehatan yang kian melambung, serta kesenjangan kualitas pelayanan yang semakin mencolok. Kini, biaya kesehatan menjadi salah satu permasalahan utama di seluruh dunia. Banyak negara kini tidak mampu lagi mendukung beban pelayanan kesehatan. Namun, perkembangan teknologi terus menggiring masyarakat menuju kebutuhan baru.
Nano teknologi kini telah mencapai manipulasi di level atom DNA. Apa artinya? Rekayasa genetika untuk melahirkan generasi unggul bukan lagi hal yang mustahil. Saat ini, penuaan dapat ditangani melalui penemuan nucleoprotein complex yang diketahui berpengaruh dalam mengatur penuaan dan keremajaan fisik. Mungkin di tahun 2030 nanti, manusia akan mencapai usia lebih dari 100 tahun dengan kebugaran seperti usia 30 tahun dengan peningkatan yang signifikan.
Mengapa semua ini bisa terjadi? Karena pasar yang sangat besar. Orang yang datang untuk mencari pelayanan kesehatan semakin beragam. Bukan hanya mereka yang sakit yang berharap untuk sembuh, tetapi juga orang-orang berduit yang ingin tampil lebih menarik, hidup lebih lama, tidak mengalami pikun, memiliki anak cerdas dan tampan. Di era ini, hampir semua bisa menjadi nyata. Teknologi telah tersedia dan biayanya pun jelas. Ketika industri bergerak, tujuannya adalah mencari untung.
Kita nampaknya sedang memasuki masa di mana etika tradisional mulai kehilangan relevansinya. Etika lama tidak mampu lagi menjawab tantangan yang ada. Saat etika tidak lagi dilihat sebagai garis hitam dan putih, maka kemampuan dokter menjadi lebih penting daripada etika itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa di masa depan audit medik akan menggantikan peran etik.
Dengan demikian, kita harus mengucapkan selamat tinggal pada ilmu kedokteran primitif dan juga etika tradisional. Persaingan teknologi kian menjamur, bisnis maju dengan cepat untuk menciptakan dan mengejar laba. Dan dunia medis telah menjadi semacam belantara!
Sayangnya, tidak dapat dihindari bahwa dokter kini merupakan bagian dari sebuah entitas industri jasa (baca: RS yang dimiliki pengusaha) yang produknya dipersiapkan untuk dijual. Pertanyaannya, di manakah posisi dokter sebenarnya? Semua argumen ini berbicara tentang kapitalisme, sebuah paham yang kita hadapi saat ini dan mungkin seterusnya. Maka, bisakah kita masih berharap adanya moral dalam arena ini? Sesungguhnya, RS bukan sekadar tempat berkerja, melainkan juga tempat ibadah. Oleh karena itu, etika tradisional tidak akan pernah sepenuhnya usang. Semoga bermanfaat.
*) dokter senior RSUD Ulin Banjarmasin
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now