JAKARTA – Temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) telah mengguncang Universitas Indonesia (UI) terkait dugaan ketidaksesuaian dalam penetapan dan pemungutan Uang Kuliah Tunggal (UKT) serta Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Total kelebihan ini mencapai Rp560.786.565.235,00, menunjukkan bahwa pengelolaan biaya pendidikan di UI melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana masalah ini muncul dan dampaknya terhadap mahasiswa. Apakah pengelolaan biaya pendidikan di institusi ini sudah sesuai dengan prinsip transparansi dan keadilan? Atau justru sebaliknya, menciptakan ketidakadilan dalam sistem pendidikan?
Masalah dalam Penetapan dan Pemungutan UKT
Salah satu inti permasalahan yang dihadapi adalah dalam hal penetapan dan pemungutan UKT. Menurut laporan, Rektor UI diduga tidak melakukan konsultasi yang diwajibkan dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Konsultasi ini seharusnya dilakukan melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, sesuai dengan Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020. Hal ini menunjukkan adanya celah dalam proses pengambilan keputusan yang bisa berdampak negatif terhadap mahasiswa.
Lebih jauh, tarif UKT yang ditetapkan juga disebutkan melebihi Batas Biaya Pendidikan (BKT) yang sudah ditentukan. Dalam Kepmendikbud Nomor 81/E/KPT/2020, terdapat batasan yang jelas, namun ternyata UI menetapkan tarif yang lebih tinggi. Kelebihan tersebut diakui mencapai Rp285.913.147.000,00. Hal ini dipecah menjadi dua kategori, yaitu Rp48.764.141.000,00 untuk mahasiswa Sarjana dan Vokasi Regulernya, serta Rp237.149.006.000,00 untuk kategori Non-Reguler.
Pemungutan IPI yang Tidak Sesuai
Selanjutnya, Iuran Pengembangan Institusi (IPI) juga menjadi sorotan, di mana pembayaran IPI dikenakan kepada mahasiswa program Magister, Doktor, Profesi, dan Spesialis mencapai Rp231.455.300.000,00. Namun, sebagai catatan penting, Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020 hanya mengatur IPI untuk program sarjana dan diploma. Dengan demikian, pemungutan untuk program-program lain ini jelas tidak sesuai dan menciptakan beban tambahan bagi mahasiswa.
Reaksi dari berbagai pihak tidak terlambat datang. Seorang pengamat kebijakan publik menyatakan keprihatinan terhadap cara pengelolaan biaya pendidikan yang dapat merugikan mahasiswa. Pengalihan dana pendidikan oleh pihak universitas, yang seharusnya mendukung mahasiswa, justru menunjukkan ketidakberpihakan. Selain itu, Ombudsman RI mengkritik kebijakan ini karena dapat menciptakan ketidakadilan yang merugikan mahasiswa di berbagai program.
Secara keseluruhan, temuan BPK menunjukkan gambaran menyentuh tentang kelebihan pemungutan UKT yang melibatkan hampir 42.789 mahasiswa, dengan total kelebihan yang sangat signifikan. Penambahan biaya untuk mahasiswa yang sedang cuti dan semester akhir juga menunjukkan bahwa beban berat ini tidak hanya berdampak pada mahasiswa aktif tetapi juga pada mereka yang sedang menghadapi masa transisi dalam studi mereka.
Dari seluruh masalah yang dihadapi, jelas bahwa pihak universitas harus segera mengambil langkah strategis untuk memperbaiki disfungsi ini. Upaya untuk menanggapi rekomendasi BPK harus dilakukan agar transparansi dan keadilan di dunia pendidikan dapat ditegakkan kembali.