Dalam beberapa tahun terakhir, pengelolaan sumber daya alam menjadi salah satu isu krusial yang banyak dibicarakan, khususnya di Aceh. Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya lebih dari 1,8 juta hektare menawarkan potensi besar bagi daerah, namun pengelolaan yang belum optimal justru menjadi tantangan tersendiri. Hal ini memicu seruan untuk mengembalikan kendali pengelolaan KEL kepada Pemerintah Aceh.
Masalah ini bukan hanya bersifat lokal, tetapi berhubungan dengan isu yang lebih luas terkait kedaulatan daerah dan pengelolaan dampak lingkungan. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa kekayaan alam ini dikelola dengan bijaksana demi kesejahteraan rakyat Aceh?
Pentingnya Pengelolaan Mandiri atas Kawasan Ekosistem Leuser
Pengelolaan KEL saat ini diduga banyak dipengaruhi oleh lembaga-lembaga konservasi dan entitas asing melalui skema bisnis karbon yang terkesan tidak transparan. Dalam konteks ini, beberapa pihak menegaskan bahwa kedaulatan atas hutan Aceh harus dipegang oleh Pemerintah Aceh sesuai dengan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) Pasal 150. Pengelolaan yang lebih inklusif dan transparan dianggap penting untuk memastikan kepentingan masyarakat lokal terjaga.
Dalam analisis lebih jauh, keberadaan skema kerja sama yang memberikan hak pengelolaan hanya pada sebagian kecil dari area KEL tentu akan mengecilkan peran Pemerintah Aceh. Rencana ini dinilai sebagai upaya pengerdilan yang merugikan masyarakat, terutama ketika menyangkut isu karbon yang kini banyak diperbincangkan. Beberapa pihak merasa bahwa lebih banyak keterlibatan dangkalan dan akses langsung untuk pemerintah daerah akan lebih bermanfaat bagi publik.
Strategi untuk Memperkuat Tata Kelola Sumber Daya Alam
Untuk membangun arsitektur tata kelola hutan yang berdaulat dan berbasis daerah, perlu ada kerjasama antara Pemerintah Aceh dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). BUMD diharapkan dapat menjadi aktor penting dalam bisnis jasa lingkungan, bukan hanya sebagai peserta pasif. Dengan sinergi yang kuat, diharapkan program-program yang ada tidak hanya menguntungkan elit, tetapi juga masyarakat luas.
Lebih lanjut, audit menyeluruh terhadap kerja sama yang melibatkan KEL mutlak diperlukan untuk memastikan bahwa semua pihak bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkan. Jika terbukti bahwa skema yang ada tidak berpihak kepada masyarakat Aceh, maka perlu dilakukan evaluasi apakah perlu dilanjutkan atau dibatalkan.
Jumlah dana yang dikeluarkan untuk konservasi di Aceh juga menjadi sorotan. Di tahun 2023, dana yang dialokasikan untuk Taman Nasional Gunung Leuser mencapai Rp201,2 miliar. Namun, ironisnya, kendala seperti konflik satwa tetap terjadi, menunjukkan bahwa dana yang dikeluarkan belum memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat lokal.
Kesimpulannya, pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat Aceh dalam pengelolaan sumber daya alam harus menjadi prioritas. Dana konservasi dan skema karbon perlu dikelola dengan transparan, agar bermanfaat langsung bagi rakyat Aceh. Sudah saatnya masyarakat dilibatkan dalam setiap langkah keputusan agar mereka tidak hanya jadi objek, tetapi juga sebagai bagian integral dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan.